Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam: Memilih Tradisi atau Kemanusiaan

4 komentar

Kematian adalah kepastian, ada yang membiarkan kedatangannya menjadi misteri, ada yang menjemputnya dengan paksa.


Magi Diela tidak pernah menyangka jika ia akan menjadi salah seorang korban Yappa mawine (diculik, ditangkap untuk dikawini). Setahu Magi, Ama Bobo (ayah Magi) tidak melakukan perjanjian untuk menikahkannya dengan siapapun. Karena selama ini, Ama Bobo-lah yang paling mendukung cita-cita Magi untuk menjadi seorang yang ahli dalam bidang pertanian demi memajukan perkebunan keluarga mereka. Bahkan Ama Bobo rela menjual tanahnya demi mengirim Magi ke Jawa agar bisa membangun Sumba. 

Dan dari semua orang, kenapa orang yang menculik dan mengawini Magi adalah Leba Ali—seorang pria tua beristri yang mata keranjang? 

Tak ingin seumur hidup dihabiskan bersama orang yang memperkosanya, Magi memilih menggigit putus urat nadi tangannya. Meski akhirnya bisa lepas dari cengkeraman Leba Ali, masa depan Magi terlanjur gelap. Tak akan ada pria yang mau menikahinya karena terlanjur membawa aib bagi keluarga. Namun yang membuat Magi paling kecewa adalah Ama Bobo masih tetap ingin menyerahkan Magi pada Leba Ali. 

Magi pun memilih melarikan diri dari kampungnya dan pergi ke Kupang dengan bantuan Dangu Toda—sahabatnya—dan orang-orang dari Gema Perempuan. 

Saat Magi mulai yakin masa depan yang selalu diimpikannya terlihat lagi, jalannya kembali gelap. Sekali lagi dia harus menghadapi mimpi buruk yang selama ini masih terus menghantuinya. Sekali lagi  Magi harus memilih nerakanya, menyerahkan diri pada si mata keranjang atau mencurangi kematiannya. 

Budaya mengambil perempuan secara paksa seolah-olah mereka adalah barang yang bisa dibawa ke sana kemari tanpa ditanyakan keinginannya. Tidak banyak yang berubah di kampungnya dan Magi merasa berlari sendiri.

Pertama kali tahu buku ini karena dapat rekomendasi di Twitter yang bilang kalau buku Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam ini wajib banget dibaca karena membahas tentang perempuan yang yang dipaksa menikah dengan pria yang memperkosanya, dengan dalih melestarikan tradisi. 

Sejujurnya, aku sendiri jarang membaca karya sastra yang mengangkat budaya Indonesia (karena lebih sering membaca buku-buku terjemahan). Dan bisa dibilang Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam ini merupakan pengalaman pertamaku berkenalan dengan sastra Indonesia yang mengangkat budaya dan tradisi lokal yang ternyata masih sering dipratikan. Padahal Indonesia memiliki keragaman budaya yang teramat banyak, mungkin setelah ini aku harus lebih sering baca sastra lokal yang mengangkat tentang kebudayaan di Indonesia. 

Buku ini mengambil latar di Sumba, dimana tradisi kawin tangkap masih terus dilestarikan. Padahal adat istiadat yang sudah turun temurun ini kini bisa dibilang telah melenceng, dan mungkin sudah tidak etis lagi untuk dilaksanakan di zaman sekarang. Bagaimana banyak perempuan yang menjalaninya di sana alih-alih bahagia, tapi malah menderita akibat menjadi korban pelecehan seksual. 

Alur ceritanya memang berjalan dengan cukup cepat, tapi makna dari setiap bagian cerita tersampaikan dengan baik. Penulis berhasil menuliskan semua emosi dan perasaan Magi Diela dengan cermat namun tetap memakai bahasa yang sederhana. Sehingga pembaca pun semakin mudah berempati pada tokoh utama. 

Penggunaan sudut pandang orang ketiga pada sebagian besar narasi memudahkan pembaca menilai sendiri bagaimana karakter masing-masing dari para tokoh. Namun penggunaan sudut pandang orang pertama di awal cerita memang memiliki dampak tersendiri bagi pembaca, seakan penulis mengajak kita ikut merasakan juga apa yang dialami Magi Diela—bagaimana putus asanya dia saat berada di rumah Leba Ali dan alasannya memilih menggigit putus urat nadinya. 

Di sini, penulis menggunakan logat Sumba sebagai percakapan antar tokoh. Sebagai orang Jawa yang jarang (bahkan bisa dibilang tidak pernah) berinteraksi dengan orang Indonesia bagian timur, membaca buku ini merupakan pengalaman baru bagiku. Apalagi saat awal-awal aku memang cukup kesulitan mengikuti bahasanya. Untungnya penulis menyisipkan catatan kaki pada beberapa kata, istilah, dan kebudayaan Sumba yang masih terasa asing. Dan setelah bisa beradaptasi dengan bahasa yang digunakan penulis, aku sangat menikmati jalan ceritanya. 

Latar tempat di buku ini terbilang kuat dan hidup. Setiap sudut tempat yang Magi tinggali, adat dan kebiasaan masyarakat di sana digambarkan dengan detail dan nyata. Ditambah foto-foto yang ada di buku yang menggambarkan keadaan di sekitar Magi membuat nuansa Indonesia Timur benar-benar terasa kuat di buku ini. 

Membaca buku Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam ini memang bikin menguras emosi. Membaca perjuangan yang Magi lakukan untuk mendapatkan haknya kembali di sini beberapa kali bikin aku tersekat. Dan saat sampai pada akhir cerita, aku justru menangis saat menyelesaikannya. Karena, aku jadi merasa bersyukur sekaligus merasa bersalah karena terlahir sebagai etnis Jawa. Walaupun aku merasa budaya patriarki di Jawa sering membuat perempuan tidak bisa bebas mengutarakan pendapatnya, namun di Indonesia Timur sana ternyata segalanya lebih parah. Dan aku baru mengetahuinya setelah membaca buku ini. 

Secara keseluruhan, buku ini sangat aku rekomendasikan buat dibaca oleh semua orang. Membaca buku ini membuat pembaca menyadari, bahwa tidak semua tradisi dan kebudayaan harus terus dilestarikan—beberapa di antaranya sepertinya memang harus dihapuskan. Karena tidak semua tradisi leluhur membawa kebaikan. Karena terkadang, menjunjung nilai kemanusiaan justru lebih utama daripada melestarikan sebuah tradisi yang merampas hak seseorang. 

Kisah perempuan lain masih mungkin akan diukir dengan tinta darah, selama pendewaan terhadap adat mengalahkan logika dan kemanusiaan.

Identitas Buku 

  • Judul : Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam
  • Penulis : Dian Purnomo
  • Penyunting : Ruth Priscilla Angelina
  • Penyelia Naskah : Karina Anjani
  • Desain Sampul : Bella Ansori
  • Foto : Dian Purnomo, Ilham Octaperdana
  • Penata Letak : Bayu Deden Priana
  • Penerbit : GPU
  • Terbit : November 2020
  • Tebal : 320 hlm.
  • ISBN : 978-602-06-4845-3
Sumber gambar: https://jp.freepik.com/premium-photo/styled-minimal-desktop-mockup-with-organic-color-stationary_11377695.htm

Related Posts

4 komentar

  1. Seru banget membaca novel yang membawa nilai budaya lokal, apalagi jika didalami dan masuk ke dalam ceritanya. Pernah terpikat sekali dengan cerita Puya Ke Puya karya Faisal Oddang, yang mengusung adat Toraja, Rambu Solo. Buku ini juga saya rekomendasikan untuk dibaca, supaya lebih kenal budaya negeri sendiri, hehe (padahal baru sedikit pula buku tema budaya lokal yang dibaca saya)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, baca novel yang mengangkat budaya lokal (terutama Indonesia) ternyata seru banget. Karena bisa jadi lebih mengenal budaya negeri sendiri yang belum banyak diketahui banyak orang.

      Wah, makasih rekomendasinya. Kapan-kapan bakal kubaca.

      Hapus
  2. Terima kasih atas review-nya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama mbak. Semoga segera menerbitkan buku lagi mbak. Terutama yang mengangkat budaya Indonesia 😊

      Hapus

Posting Komentar