Review "The Woman in The Window" Karya A.J. Finn

Posting Komentar
Mengamati adalah seperti fotografi alam: kau tidak boleh mengganggu kehidupan liar.
Anna Fox sebelumnya bekerja sebagai dokter psikiatri anak, namun setelah berpisah dengan putri dan suaminya, dia menderita agorafobia—sebuah fobia terhadap keramaian dunia luar. Selama hampir setahun belakangan, dia tak pernah menginjakkan kakinya di luar rumah.

Sehari-hari Anna menghabiskan waktunya dengan menegak anggur merlot sambil mengamati rutinitas para tetangga melalui jendela rumah dengan menggunakan kamera Nikon. Selama ini Anna hanya menjadi pengamat, hingga kemudian keluarga Russell pindah ke seberang taman dekat rumahnya. 

Hari itu tanpa sengaja Anna melihat Jane Russell—tetangga barunya—ditusuk di dada. Anna mencoba untuk menolongnya, tapi begitu menjejakkan kaki di luar rumah, dia pingsan akibat agorafobia. Dan ketika sadar keesokan harinya, ada Jane Russell lain—Jane yang sesungguhnya—yang berbeda, hidup dan tentunya tak ada luka tusukan. Tak ada yang mati semalam, dia mungkin hanya berhalusinasi akibat obat dan anggurnya. 

Tak ada yang percaya dengan omongan Anna. Mereka pikir dia hanya mencari perhatian orang lain akibat kesepian yang dialaminya. Anna pun mencurigai ingatannya sendiri. Mungkinkah Jane Russell yang selama ini dia kenal hanyalah produk halusinasi karena dia terlalu banyak minum? 
"Sayangku, kau tidak bisa terus membenturkan kepala pada kenyataan dan mengatakan kenyataan itu tidak ada di sana." 
The Woman in The Window adalah karya perdana dari A.J. Finn dan konon katanya langsung mendapat tawaran untuk difilmkan. Aku lupa kapan membelinya, tapi terkadang aku memang tipe impulsif yang langsung membeli ketika tahu sebuah novel akan difilmkan (tapi tergantung genre juga sih). Dan untungnya novel ini tak sama seperti The Girl on The Train yang berakhir di timbunan setelah membaca beberapa halaman. 

Karena sempat merasa ter-spoiler saat mengintip review di Goodreads, membuatku lumayan malas untuk segera menyelesaikan novel ini. Bahkan selama membacanya, aku sanggup menyelesaikan 15 novel (LOL). Apalagi dengan alurnya yang super lambat di awal, dibutuhkan usaha ekstra untuk bisa terus melanjutkannya. 

Melalui sudut pandang Anna sebagai orang pertama, pembaca akan diajak untuk menyelami benak Anna. Sejujurnya agak menyebalkan berada di benak Anna ini, karena pikirannya sering teralihkan, sebentar-sebentar melarikan diri ke minuman dan terkadang mencampurnya dengan obat yang justru menambah parah penyakitnya—sehingga saat kesadarannya sangat dibutuhkan, dia justru tidak bisa fokus. Namun ketika mengetahui alasan yang membuatnya trauma akibat perpisahannya dengan putri dan suaminya, aku bisa sedikit memahaminya. 

Paruh awal novel ini memang membosankan. Tapi setelah melewati bagian yang membosankan tersebut dan konflik-konflik mulai lebih banyak bermunculan, novel ini jadi sulit untuk dilepaskan dan sukses bikin begadang. Apalagi menjelang 50 halaman terakhir, rasanya pembaca seakan tidak diizinkan untuk mengambil napas karena segala sesuatu seperti terjadi dengan sangat cepat. 

Bagian klimaks ini sempat membuatku mengumpat karena plot twist-nya. Rasanya benar-benar tak terduga. Di awal pembaca digiring untuk mempertanyakan kewarasan Anna, lalu setelah terbawa arus dan kebenaran mulai tersingkap, semua seperti sudah terlambat. Apalagi saat mengetahui identitas pelaku, aku benar-benar dibuat terkecoh dengan perannya. Pantas saja The Woman in The Window ini mendapat nilai positif dari banyak penulis bergenre sama.

Bagi pecinta novel thriller, The Woman in The Window memang tak boleh dilewatkan. Didukung dengan terjemahan yang apik, novel ini sukses membuatku bookhangover

... alkohol adalah anestesi bagi kita untuk menanggung operasi kehidupan. 

×××

Judul : The Woman in The Window
Penulis : A.J. Finn
Penerjemah : Inggrid Nimpoena
Penyunting : Yuli Pritania
Penerbit : Noura Books 
Terbit : Mei 2018 (Cetakan I) 
Tebal : 543 hlm.

Related Posts

Posting Komentar