All The Bright Places, Mencari Hal Berharga di Tempat-Tempat Terpencil

2 komentar
"... Kurasa aku punya peta di mobilku yang ingin digunakan, dan kurasa ada tempat-tempat butuh dilihat yang bisa kita datangi. Siapa tahu tak ada orang lain yang pernah mengunjungi mereka dan menghargai mereka atau menyisihkan waktu untuk berpikir bahwa mereka penting, tapi mungkin tempat paling kecil pun bahkan memiliki arti. Dan, kalau tidak, siapa tahu mereka bisa memiliki arti bagi kita. Setidaknya, saat kita pergi, kita tahu kita nanti pernah melihatnya. Jadi ayolah. Kita pergi. Ayo memiliki suatu arti. Ayo turun dari langkan itu."
princesasempreendedoras.com

Theodore Finch merupakan cowok aneh dan sering bikin onar di sekolah. Ia terobsesi pada kematian dan terus-menerus memikirkan berbagai cara untuk bunuh diri. Namun, setiap kali ada suatu hal positif yang ia temukan—betapa pun sepelenya—akan selalu membuatnya berhenti dari usaha untuk mengakhiri hidupnya.

Sejak kakaknya meninggal dalam sebuah kecelakaan, Violet Markey yang dulu merupakan seorang cewek populer yang pernah menjadi anggota OSIS dan pemandu sorak di sekolahnya, berubah jadi cewek penyendiri dan selalu memikirkan masa depan. Ia terus-menerus menghitung hari sampai tiba hari kelulusannya, karena itu berarti ia akan bisa meninggalkan kota kecil tempat ia tinggal di Indiana dan kesedihan mendalam akibat kematian saudarinya setahun yang lalu.

Finch dan Violet bertemu secara tidak sengaja di langkan menara lonceng sekolah. Tak jelas siapa yang menyelamatkan siapa dari sebuah usaha bunuh diri. Keduanya jadi makin dekat setelah berpasangan dalam mengerjakan tugas mata pelajaran Geografi Amerika—yang mengharuskan keduanya menjelajahi tempat-tempat istimewa di Indiana sebelum kelulusan mereka. 

Berkat itu, Finch dan Violet malah menyadari hal-hal lain yang lebih penting: hanya bersama Violet-lah Finch bisa menjadi diri sendiri—cowok nyentrik, lucu, yang menikmati hidup dan ternyata sama sekali tidak aneh. Dan hanya bersama Finch-lah Violet bisa lupa menghitung hari serta mulai menikmati hidup.

Tetapi, seiring meluasnya dunia Violet, dunia Finch justru mulai menyusut. 

... Sebenarnya aku sendirian, itulah bagian dari masalahnya; kita semua sendirian, terjebak dalam tubuh-tubuh ini dan benak kita sendiri, dan teman apapun yang kita punya dalam kehidupan ini hanya sekilas dan palsu..
Sebelumnya, aku sudah pernah membaca All The Bright Places ini dan menobatkannya sebagai novel tersedih dan bikin nyesek yang pernah kubaca. Dan dalam rangka memenuhi prinsip baca-baru-nonton, akhirnya baca ulang novelnya sebelum nonton film adaptasinya yang sudah tayang sejak Februari 2020 lalu. 

All The Bright Places ini merupakan novel yang mengangkat tema isu kesehatan mental—yang bagi sebagian orang umumnya dianggap sebagai sebuah aib saat mengetahui ada orang yang memilikinya—terutama gangguan bipolar. Padahal seperti halnya sakit fisik yang berbahaya dan bisa menyebabkan kematian saat tidak ditangani dengan tepat, seseorang yang memiliki sakit mental jika tidak ditangani dengan tepat dan mendapat pertolongan juga bisa berbahaya dan sangat fatal. Tapi bagi sebagian besar penderita, terkadang mereka tidak mencari pertolongan karena takut akan label yang mereka dapatkan. Selain itu jika mereka ketahuan mendatangi seorang ahli, mereka akan sering mendapatkan "penghakiman" tidak menyenangkan dari orang lain. Karena itulah seringnya kasus penyakit mental berakhir dengan kematian karena terlambat disadari dan mendapat pertolongan. 

Saat pertama kali membacanya dulu, jujur saja aku agak merasa terjemahannya kurang mengalir. Tapi setelah baca ulang, ternyata aku lebih bisa menikmatinya. 

Gaya penulisannya sendiri sedikit mengingatkan dengan gaya penulisan John Green. Malahan, secara umum si Finch ini bikin agak de javu dengan tokoh Miles Halter/ Pudge (Looking for Alaska) dan Quentin “Q” Jacobsen (Paper Towns). Meski begitu, aku sendiri lebih menikmati gaya menulis Jennifer Niven di buku ini. Mungkin karena penulisnya sendiri punya pengalaman tragis tentang kehilangan saat masih belia, yang akhirnya menjadi inspirasi dalam menulis All The Bright Places. Sehingga kisah Finch ini jadi terasa lebih "nyata" dan para pembaca jadi lebih bisa "masuk" ke dalam karakter Finch—seolah kita adalah karakter tersebut. 

Buku ini termasuk kategori buku yang ingin cepat-cepat kita habiskan karena penasaran. Meskipun di pertengahan buku, sempat bikin agak bosan juga, namun setelah melewatinya kita tetap ingin segera menyelesaikan. Saat pertama kali membacanya dulu, buku ini sempat membuatku tidak bisa berhenti menangis. Bahkan saking sedihnya, dada jadi terasa sesak karena membayangkan bagaimana Finch menanggung segalanya seorang diri. Dan meski sudah tahu alur ceritanya, saat membaca ulang pun, buku ini tetap saja membuatku meneteskan air mata.

Walaupun berlabel Young Adult, buku ini cocok untuk dibaca oleh siapa saja—apalagi kalau tujuannya adalah untuk memahami bagaimana kekalutan mental yang banyak dialami oleh remaja. Selain itu, membaca buku ini juga akan membuat kita menjadi lebih berhati-hati dalam bertutur dan bertindak kepada orang lain. Karena kita tidak akan tahu bahwa satu kalimat atau satu perbuatan kita ternyata bisa berdampak begitu dahsyat bagi orang lain.

Membaca buku ini membuatku jadi lebih memahami tentang apa yang seseorang rasakan saat mengalami depresi, dan bagaimana kita harus bersikap pada mereka. Selain itu, kita juga jadi lebih aware, peka, dan peduli dengan orang-orang yang memiliki tanda depresi tersebut. Karena terkadang justru dari orang terdekat mereka, seperti keluarga, malah tidak mencurigai tanda-tanda tersebut dan tidak menganggap berarti perubahan perilaku mereka dan pada akhirnya justru berakibat fatal. 

Di akhir buku ini, disediakan daftar kontak layanan bantuan pencegahan bunuh diri dan kesehatan jiwa di Indonesia, seperti Into The Light Indonesia, Bipolar Care Indonesia, dan Yayasan Pulih. Untuk kalian yang mungkin merasakan tanda-tanda dari anxiety disorder, bipolar, depresi, jangan pernah ragu untuk mencari bantuan, baik dari keluarga maupun dari psikiater.

"Masalah manusia adalah mereka lupa bahwa seringnya hal-hal kecillah yang berarti. Semua orang sangat sibuk menunggu di tempat menunggu. Seandainya kita berhenti untuk mengingat bahwa ada sesuatu seperti Menara Purina dan pemandangan yang seperti ini, kita semua pasti akan lebih bahagia."

×××

Identitas Buku 

  • Judul                     : All The Bright Places
  • Judul Terjemahan : Tempat-Tempat Terang
  • Penulis                  : Jennifer Niven
  • Penerjemah           : Angelic Zaizai
  • Penyunting            : Tri Saputra Sakti & Dini Pandia
  • Desain Sampul      : Yulianto Qin
  • Penerbit                 : GPU 
  • Terbit                     : September 2017
  • Tebal                      : 400 hlm. 

Related Posts

2 komentar

  1. waaah suka sama reviewnyaaa! aku mau beli buku ini tapi masih ragu, takut gak pas gitu. tapi pas baca review kakak jadi pengen beli. Pengen juga ngerasain sensasi baca sampe nyesek gitu heuheuheu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. seneng deh kalo tau ada yang pengen baca buku yang aku review 😊 semoga berjodoh juga sama bukunya yaa.. soalnya aku suka banget sama All The Bright Places ini.

      Hapus

Posting Komentar